JAKARTA, 1 DESEMBER 2024 (ANTARA) – Sebuah fenomena yang paradoks namun kerap terjadi manakala banyak restoran mewah di jantung kota Jakarta, misalnya, mengakhiri malam dengan piring-piring yang menumpuk di wastafel dapur.
Di antara tumpukan itu, tersisa hidangan mahal yang tak tersentuh, roti segar yang mengering, dan sisa-sisa makanan yang nyaris tak bersisa. Sementara itu, tak jauh dari situ, tepatnya hanya beberapa kilometer jaraknya, banyak keluarga kecil di gang sempit mencoba bertahan menghabiskan malamnya dengan hanya sebungkus nasi sisa atau sepotong roti basi dan segelas air. Tragedi ini bukan sekadar cerita fiksi. Ini adalah kenyataan yang dihadapi Indonesia setiap hari. Fenomena yang kian lazim dikenal sebagai food loss dan food waste ini sedang menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan, ekonomi, dan lingkungan secara global. Ironisnya, di negara yang kaya akan hasil bumi ini, jutaan ton makanan terbuang setiap tahunnya. Dan ini terjadi di saat jutaan orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, bergantung pada sisa-sisa yang tidak dianggap oleh orang lain.
Riset Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menunjukkan ada setidaknya 931 juta ton makanan, atau sekitar 17 persen dari total makanan yang tersedia untuk konsumen pada tahun 2019, berakhir di tempat sampah rumah tangga, pengecer, restoran, dan layanan makanan lainnya. Jumlah tersebut setara dengan berat sekitar 23 juta truk berkapasitas penuh seberat 40 ton. Jika disusun secara berurutan tanpa jarak, truk-truk ini cukup untuk mengelilingi bumi sebanyak tujuh kali. Di Indonesia, jumlahnya tak kalah mencengangkan. Menurut hasil penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2021, Indonesia membuang sampah makanan 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 dengan taksiran kerugian ekonomi sebesar Rp213 triliun– Rp551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia per tahun.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menunjukkan bahwa hampir separuh dari total sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah limbah makanan. Angka ini menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tingkat pemborosan makanan tertinggi di dunia. Namun, food loss dan food waste bukan hanya masalah statistik. Dampaknya jauh melampaui angka-angka kering itu. Setiap makanan yang terbuang berarti lahan pertanian yang dikerjakan sia-sia, air yang tidak termanfaatkan, dan bahan bakar yang terbuang percuma. Dalam skala global, makanan yang diproduksi tetapi tidak dikonsumsi menyumbang sekitar 8 persen dari emisi gas rumah kaca. Dengan kata lain, pemborosan makanan adalah pemborosan kehidupan.
Membangun kesadaran
Di tengah kegelisahan ini, sektor perhotelan dan restoran menjadi salah satu aktor yang dapat membawa perubahan. Sebagai industri yang bersentuhan langsung dengan pangan, hotel dan restoran memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Beberapa cerita sukses di Indonesia menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin. Peneliti Muhamad Alfiansyah Mi’raj, Shinta Doriza, dan Hamiyati dari Universitas Negeri Jakarta melakukan riset Analisis Implementasi Food Waste Management untuk Studi Kasus di Hotel Novotel Jakarta Cikini. Dari riset diketahui, Hotel Novotel Jakarta Cikini telah berhasil mengurangi limbah makanan hingga 63 persen hanya dalam beberapa bulan. Rahasianya, perencanaan yang cermat, pelatihan staf, dan donasi makanan.
Makanan berlebih yang dulunya berakhir di tempat sampah kini disalurkan ke organisasi yang mendistribusikannya kepada mereka yang membutuhkan. Serupa dengan itu, sejumlah periset di Surabaya yakni Hanjaya Siaputra, Nadya Christianti, dan Grace Amanda dari Program Manajemen Perhotelan, Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Petra juga melakukan Analisis Implementasi Food Waste Management di Restoran X Surabaya. Mereka meriset pemanfaatan teknologi sederhana, dari mulai memantau pola konsumsi pelanggan, mengurangi porsi makanan yang sering terbuang, dan memanfaatkan bahan-bahan yang biasanya dibuang untuk menciptakan hidangan baru. Hotel itu tidak hanya menghemat biaya operasional, tetapi juga meningkatkan loyalitas pelanggan, yang kini melihat restoran itu sebagai tempat yang tidak hanya menjual makanan, tetapi juga harapan. Namun, perubahan ini tidak terjadi begitu saja. Dibutuhkan komitmen, inovasi, dan keberanian untuk memecahkan pola lama yang telah mendarah daging.
Hotel dan restoran perlu mulai dengan hal sederhana yakni memahami berapa banyak makanan yang terbuang setiap hari. Dari situ, mereka dapat mulai menyusun strategi untuk mengurangi pemborosan. Dengan memanfaatkan teknologi pemantauan stok, menyusun menu berdasarkan permintaan musiman, atau bahkan mengadakan pelatihan bagi staf dapur tentang pengelolaan bahan makanan yang lebih efisien. Donasi makanan juga harus menjadi bagian dari budaya bisnis. Kolaborasi dengan organisasi seperti Foodbank of Indonesia dapat menjadi langkah strategis untuk memastikan bahwa makanan yang layak konsumsi tidak berakhir di tempat sampah. Langkah ini bukan hanya soal memberi kepada mereka yang membutuhkan, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih berempati dan peduli. Namun, tanggung jawab tidak hanya ada di tangan pelaku bisnis. Pemerintah juga harus hadir dengan regulasi yang mendorong praktik keberlanjutan di sektor perhotelan dan restoran. Insentif pajak, misalnya, bisa diberikan kepada bisnis yang aktif mengurangi limbah makanan. Kampanye nasional tentang kesadaran food waste juga bisa menjadi alat yang efektif untuk mengubah perilaku masyarakat.
Bagi konsumen, perubahan kecil bisa dimulai dari meja makan. Memesan makanan sesuai kebutuhan, membawa pulang sisa makanan, atau memilih restoran yang mendukung keberlanjutan adalah langkah sederhana yang bisa dilakukan setiap orang. Karena pada akhirnya, pemborosan makanan bukan hanya persoalan bisnis atau pemerintah. Ini adalah persoalan semua elemen masyarakat. Jika kesadaran itu telah berhasil dibangun bersama maka kelak pemandangan yang tersisa saat restoran tutup menjelang malah adalah piring kosong dan jiwa yang penuh rasa syukur atas makanan di hari itu. Hidangan yang tersaji tidak lagi berakhir sia-sia, tetapi memberikan nilai baik bagi pelanggan, bisnis, maupun lingkungan. Sebuah langkah kecil, tapi signifikan, menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Oleh Hanni Sofia
Editor : Slamet Hadi Purnomo