JAKARTA, 9 MEI 2025 (ANTARA) – Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan mengungkapkan ragam data yang perlu dijaga oleh individu dan tidak boleh sembarang dibagikan untuk menjaga keamanan diri mengingat di era digital kejahatan siber tak terkecuali pencurian data marak dilakukan.
Menurut dia salah satu data yang tak boleh dibagikan secara sembarangan kepada pihak manapun ialah data biometrik atau data yang melekat pada tubuh seseorang karena data-data biometrik saat ini sudah awam digunakan sebagai alat untuk memverifikasi suatu layanan termasuk perbankan. “Masyarakat mungkin juga ingat waktu perekaman e-KTP itu kan juga pakai data biometrik. Seperti retina mata, sidik jari itu adalah data biometrik. Nah sekarang ketika memberikan data biometriknya tanpa alasan yang kuat, itu boleh mengasumsikan ada motif yang tidak aman, sehingga harus ditolak,” kata Firman kepada ANTARA saat dihubungi, Kamis kemarin.
Menurut Firman, data biometrik saat ini sudah menjadi hal yang umum digunakan dalam penyediaan fasilitas bagi masyarakat seperti perbankan untuk melakukan verifikasi sehingga apabila data biometrik tersebut direkam oleh pihak yang tidak memiliki kepentingan maka tentu hal itu akan berbahaya. Hal itu disampaikan Firman sebagai pengingat juga bagi masyarakat menanggapi maraknya fenomena masyarakat di beberapa kota seperti Jakarta, Bekasi, dan Bogor yang pada pekan lalu ramai-ramai mendaftarkan data retina untuk aplikasi World dan mendapatkan imbalan sebesar Rp800.000.
Fenomena ini juga ramai diperbincangkan di media sosial, dan berakhir dengan layanan aplikasi World yang sudah tidak tersedia karena dibekukannya izin operasional perusahaan terkait oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) pada Minggu (4/5). Lebih lanjut, Firman menjelaskan data biometrik lainnya yang harusnya dijaga dan tidak dibagikan secara berlebihan di ruang digital saat ini untuk keamanan diri ialah foto swafoto serta suara. Selain itu juga, data-data yang terkait dengan kebiasaan yang sering dilakukan di keseharian meski sederhana seperti makanan kesukaan, nama hewan peliharaan, hingga nama saat kecil ada baiknya tidak dibagikan secara berlebihan di ruang digital.
Menurut dia saat ini kejahatan dengan teknologi tingkat tinggi seperti deepfake yang semakin sulit dikenali, foto swafoto, suara, bahkan data keseharian itu dapat dianalisis menggunakan teknologi tersebut dan akhirnya menjadi data yang disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab. “Itu kalau penjahat pakai AI, dengan formulasinya bisa melakukan deepfake yang sudah tidak bisa dibedakan antara yang asli dan palsu. Itu bisa menjadi sosok yang sangat mirip dan terus digunakan untuk melakukan sesuatu yang buruk. Nah itu terjadi antara lainnya karena data pribadinya sudah tersebar,” kata Firman.
Tentunya selain hal-hal itu, data seperti yang dimaksudkan dalam Undang-Undang nomor 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP) juga perlu dijaga oleh masyarakat sebagai pemilik data dan hanya dibagikan saat dibutuhkan. Data pribadi dalam UU PDP terdiri dari dua kategori yaitu bersifat umum dan bersifat spesifik. Adapun data bersifat umum terdiri dari informasi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, serta data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang. Sementara untuk data pribadi bersifat spesifik, terdiri dari informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pewarta : Livia Kristianti
Editor : Zita Meirina