KAIN – FISIP UI Gelar Simposium Nasional untuk RUU PDK

LAROMA hadir dalam simposium ini, di Jakarta.

MANADO, 22 SEPTEMBER 2025 – Diskriminasi, dan perlindungan hukum masih belum dirasakan secara utuh oleh Orang dengan HIV (ODHIV) dan Populasi Kunci, Kelompok Keberagaman Seksual dan Identitas Gender (KSIG), Penyandang Disabilitas, Masyarakat Adat, Perempuan, Penghayat Kepercayaan, dan beragam kelompok rentan lainnya.

 

Bacaan Lainnya

Berlatar belakang pada hal tersebut, maka selama dua hari pada 16 – 17 September 2025 lalu Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi (KAIN), dan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), yang berkolaborasi dengan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Equal Rights Trust (ERT), mengadakan Simposium Nasional Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK), di Departemen Kriminologi FISIP UI, Jakarta.

 

Diskusi bertajuk ilmiah ini dihadiri lebih dari 150 peserta yang mempertemukan para pemangku kepentingan strategis dan berbagai kalangan yang terdiri dari para akademisi, ahli internasional, perwakilan Kementerian/Lembaga, masyarakat sipil, kedutaan-kedutaan besar di Indonesia, para jurnalis dari berbagai media massa, dan mahasiswa. Dalam siaran pers KAIN yang diterima MANADONES, diuraikan, simposium ini lahir dari kebutuhan akan regulasi berbasis bukti (evidence-based regulation), kebijakan yang berbasis kebutuhan dan berorientasi pada pemecahan masalah di masyarakat (need-based and problem solving oriented), serta kerinduan hadirnya kebijakan yang memberikan jaminan perlindungan kepada setiap warga negara secara komprehensif dan tanpa pengecualian.

 

Di samping itu, kegiatan ini merupakan inisiatif koalisi masyarakat sipil dalam mengingatkan para penyelenggara negara atas rekomendasi Universal Periodic Review Siklus IV 2023 dan concluding observations Komite Hak Sipil dan Politik 2024 di mana pemerintah Indonesia menyepakati mengenai legislasi anti-diskriminasi. Di ajang ini Dekan FISIP UI, Prof Semiarto Aji Purwanto saat membuka simposium menyatakan diskriminasi selain berdampak ke individu juga berpengaruh terhadap kohesi sosial hingga mengancam legitimasi politik. “Untuk itu, hukum anti-diskriminasi yang komprehensif tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus hadir sebagai instrumen keadilan yang nyata dirasakan oleh warga, terutama mereka yang rentan dan selama ini tersisih dari perlindungan negara,” jelasnya.

Baca juga  Pengamanan Kunker RI 1 ke Sulut Danrem Wakhyono Tekankan Keselamatan Presiden Jokowi

 

Di sisi lain, Claude Cahn perwakilan dari OHCHR menyatakan melalui UU, maka negara bisa memenuhi banyak kewajiban internasional soal hak asasi manusia. “Undang-undang ini memberi masyarakat alat untuk melawan diskriminasi secara langsung. Hak yang biasanya hanya tertulis di konstitusi atau perjanjian internasional bisa terasa jauh, tapi dengan undang-undang ini, orang bisa menggunakannya dalam kehidupan nyata,” urai Claude.

 

Sementara dalam diskusi pleno di pada  hari pertama, pembicara dari Staf Ahli Bidang Inovasi Pendanaan Pembangunan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dr Raden Siliwanti MPIA menyampaikan legislasi anti-diskriminasi sejalan dengan kerangka pembangunan Indonesia. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, salah satu arah kebijakannya adalah memastikan tidak ada satu orang pun yang tertinggal dalam pembangunan (no-one left behind).

 

“Dua pilar yang menopangnya adalah pilar hukum dan pilar akses terhadap keadilan. Cantolan tersebut seharusnya dapat dimaknai dan memampukan pemegang kepentingan untuk menindaklanjuti rekomendasi internasional terhadap Indonesia,” ujarnya. Pada symposium ini juga menghadirkan empat sesi diskusi tematik. Panel pertama mengangkat topik definisi dan cakupan diskriminasi yang komprehensif.

 

Temuan penting dalam panel ini adalah diskriminasi terjadi karena kegagalan pengakuan atas fakta keberagaman dan esensi diskriminasi adalah ketidakadilan terhadap keberagaman. Sehingga definisi diskriminasi dalam RUU PDK agar berdasar alasan yang dilindungi (protected ground) dan definisi yang bersifat terbuka (open-ended definition). Panel dua dengan tema mekanisme penegakan untuk akuntabilitas dan pemulihan korban diskriminasi.

Baca juga  Demi Wakefest 2023 BPPD Minahasa Hadirkan Presiden IWWF Asia di Danau Tondano

 

Tematik ini menyoroti mekanisme penegakan hukum secara ideal di RUU PDK dilakukan melalui pembentukan badan/institusi baru yang independen, inklusif, partisipatif, representasi dari berbagai keberagaman kelompok rentan-minoritas, memiliki daya yang memadai, dan terdiri dari orang-orang yang berintegritas dan memiliki kepekaan terhadap isu diskriminasi. Mekanisme tersebut harus mampu merespon semua peristiwa diskriminasi dengan proses yang memberikan kemudahan, keandalan, dan kepastian. Menjamin penegakan dan pemulihan hak-hak korban (victims’ rights) yang akuntabel, efektif, komprehensif dan inklusif.

 

Panel tiga menyoroti upaya pencegahan diskriminasi efektif perlu mencangkup pengumpulan data untuk kebijakan, partisipasi bermakna kelompok rentan dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan, serta adanya sistem pengaduan individual. Pengaturan pencegahan perlu berbasis prinsip internasional dan norma lokal yang menjunjung keberagaman, serta dijalankan melalui mandat lembaga HAM, penegak hukum, pendidikan, budaya, dan pemerintah daerah.

 

Panel empat membedah implementasi efektif legislasi anti-diskriminasi komprehensif. Komponen penting dalam implementasi adalah memastikan badan/institusi penegakan bersifat independen, adanya audit regulasi untuk memotret dampak RUU PDK. “Dan kami, penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung atau LAROMA, mendapatkan undangan untuk ikut serta pada symposium ini,” kata Ketua LAROMA, Iswan Sual pada MANADONES.

 

Simposium ini ditutup oleh Komisioner dan Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ratna Batara Munti yang mendeklarasikan Komnas Perempuan mendukung secara penuh inisiatif dan upaya dari KAIN untuk mendorong Indonesia memiliki RUU PDK. Komnas Perempuan akan mengawal advokasi agar RUU PDK bisa masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dibahas serta disahkan melalui kerangka kerja, fungsi dan kewenangan yang dimiliki Komnas Perempuan. (gracey wakary)

Yuk! baca berita menarik lainnya dari Manadones di saluran WHATSAPP

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *