MANADO – Nyiur melambai memiliki beragam adat budaya yang menarik, begitu juga dengan keindahan alamnya. Sayangnya kini beberapa budaya makin terpinggirkan dan terlupakan, salah satunya dengan Batifar.
Batifar sendiri dahulunya adalah kegiatan sampingan harian dari para petani kelapa di tanah ini, untuk mendapatkan minuman segar yang mampu memberikan panas tambahan pada tubuh mereka, usai mereka bekerja. Biasanya aksi ini dilakukan diatas pohon Aren alias seho yang sudah cukup umur untuk diambil air nya. Sayangnya, karena lahan perkebunan kelapa yang berkurang karena tergantikan sebagai lahan bisnis dan property, serta makin sulitnya ditemukan petani dan pemilik lahan yang masih memiliki pohon aren, Batifar pun mulai tergantikan dengan minuman buatan sekelas bir.
Namun beberapa waktu lalu, salah satu fotogarfer lepas dari Manadonese, Vanda Rorimpandey Loijens tanpa sengaja kami bertemu dengan seorang pemuda yang menggunakan motor matic, dengan membawa sejumlah perlengkapan untuk Batifar seperti parang yang disebut dengan pedah oleh warga setempat, tempat batifar dengan dua gallon plastic ukuran 3 liter. Dia pun mengikutinya, dimana areal sang pemuda untuk mengambil sari seho tidak jauh dari jalan yang lalui.
Si pemuda yang mengaku warga setempat, area kaki Gunung Mahawu, Tomohon terlihat cekatan naik ke pohon seho yang memiliki tinggi sekira 5 meter. Hanya mengandalkan kegesitan kakinya yang tanpa alas, dia mengambil nira seho dalam waktu tidak lebih dari 15 menit. Usai itu, dia turun dengan membawa 2 galon air sari ini yang nantinya akan dijadikan saguer, namun tersenyum saat Vanda menyebutkan mengapa tidak dijadikan sebagai minuman cap tikus dan gula merah. Kesempatan langka, yang ternyata masih bisa kita temui langsung di. (*)